....

hanya nama dengan empat huruf

1.

Dulu. Tak ada bintang
hanya nama. Lalu aku lunglai
menyisir liku jiwa yang tak sengaja
kudamba. Kemarin
dan nanti,

Masih aku menanggung satu hal, mungkin
pilihan yang terlambat. Kerdip sunyi
rasa pahit kutelan mentah—

Lama,
aku berkutat dengan sepi, suram
sisa hidup yang riuh, mengulang
penghubung roda berputar. Memusingkan
dalam semua cerita lalu, Oktober raungkan kejujuran
lalu, menjadi pemalu. Torehkan kata tersisih

perjalanan yang letih. Menyusuri binar
binar bintang pada hati yang lama,
lupa lima tahun menjadi cerita usang.

—di jalanan ketintang
2.

....begitu menyilaukan. Kendaraan berebut jalan
dan letak kenyamanan
biar dingin menusuk, mata mengabur
berbunga legakan jiwa. Perempuan kesepian
menunggu tumpangan; yakinkan cerita lalu!

Jiwa membatu menekuk keinginan
merah berpacu dengan tali putih
pengakuan ini untuk yang lalu—mengemis
mengorek cerita lalu. Sekedar sisa
kuterima, sepotong binar bintang pada hati yang lama

ini bukan mimpi bualan
mata memincingkan hati, berharap kesamaan rasa
, remuk tulang belulang. Romantisme lalu
Akh....bau basi yang terasa

Dapatkah sedetik saja, aku jatuh
dalam dekapmu, mengulang lalu
membayar hutang, kau bisu—
”urat tenggorokanmu tercekat
dendam lalu.”

beri debarmu
biar binar lampu kerdipkan cahaya
hijau, menyilaukan!
”dekap aku biar tak terlalu rindu.”
Tapi bintang mati. —enyahkanku

Bekal cerita lalu tak cukup,
mengenyangkanmu...aku masih mengemis
mengorek sendu seminggu ini.
Namun, kau membeku,

beri aku kesanmu,
karena aku tetap menunggu seminggu ini.
lalu cerita lalu akan benar menjadi lalu!
brengsek—memalukanku. Berdiri tegak
tanpa penopang....tertawa!itu lucu.




Mojokerto, 05 November 2008


Kotak Persegi


Puisi ini melihat kota layaknya jiwa kehausan
“mimpi —abadikan diri, baju kebangsaan dalam
kebanggaan….empat tahun lamanya.”
lebih dipersempit, sekarang bicarakan
gang sempit itu.

Aku tahu betul apa yang kau tanyakan,
sebut saja jalan Dharmawangsa 6
depan Graha Amerta
ke 6-nya, itu naungan para gadis

kujelaskan—rumah bercat coklat pucat,
bisa dilihat, menjulang berlantai 3.
seperti dukaku mengabur
ketika pintu terpecah….bau basi sepatu
memecah kejenuhan rasa
tak tahu betul, mengapa tumpukan sepatu menghiasi
—tanpa pemilik….melankolia jejak kehidupan.

aku berada dilantai dua.
Kotak persegi kelima, pengap sedikit memudar.
adanya jendela. Tepat pada derajat pertengahan.
Mawar mati,
disebelah ranjang.
Hadirkan mimpi

disini hidup dalam dekapan masa depan
senyap, ahad
yang menggurat sendirian
ruang-ruang
butuhkan udara
biarkan aku—
menghirup tanpa batas
 

Kotak persegi, 05 November 2008


Ibarat Menanti Teratai Membeku


Ketika kemarau hadir dan teratai
mengais setetes embun
seseorang terpaku menatap di sana,
menanti sebuah pertemuan
pengharapan

guyuran air tak pernah ada
dan kelu,
mengering asaku
di kekeringan
gauli hari-hari; mungkin akar atau batu pualam
yang memberi penopang
akan penantian

berupa titik-titik hujan yang disuburkan
     pertemuan 
di tengah danau
teratai menanti sendiri
bisikkan pelan
hujan belum juga mengabarkan musimnya
jeda di akhir, kekeringan melanda
gerimispun dinanti
melegakan asa; menjadi nada membahagiakan
dan waktu, semacam kenyataan rembulan
sinarkan di malam,
warta atas teratai; penghujan sisakan angan
tak ada pertemuan
diam-diam terkulai
kelopak teratai terbang 
teriakkan
enyahkan kemarau
bawa aku ke titik-titik hujan
menggambarkan parasnya
keheningan danau berulang
acuhkan teratai
dalam keheningan menampakkan
lelumutan mengusik 
teratai tak segera kuncup
akar membawa mimpi tersesat
mengancam teratai
menyusun asa terpatah-patah
mengharap, menanti
ngelangutkan
air keruh nan gelap
namun pandangan kan tegak
menatap rembulan
di ujung awan mendung,
mengharap kan mengguyur
selaksa tatapanmu merekahkan bunga
belaianmu menyentuh dedaunan hati
aku merintih—harap, tak terberi
pertautan
lekatkan
lunglai
tentangmu
segala laku awan enggan menyapaku
angin tak ada iba sebagai pertanda
kini tebaran bintang; serupa lampion bertaburan di angkasa
melas—teratai ampunkan nila
jika memang adanya
tak ada waktu,
aku membeku
di tengah kemarau