“Apa boleh buat, jalan seorang penulis adalah jalan
kreativitas, di mana segenap penghayatannya terhadap setiap inci gerak
kehidupan, dari setiap detik dalam hidupnya, ditumpahkan dengan JUJUR dan TOTAL,
seperti setiap orang yang berusaha setia kepada hidup itu sendiri-satu-satunya
hal yang membuat kita ada.” (Seno
Gumira Ajidarma, Ketika Jurnalisme
Dibungkam Sastra Harus Bicara). Ya, menulis adalah sebuah proses kejujuran
seperti yang diungkapkan oleh Seno Gumira Ajidarma. Begitupun pada saat kami
menuliskan buku Menuju Wujud Surabaya Kota Literasi. Kami merasa sebagai orang yang
sangat beruntung karena sebagai generasi muda menjadi saksi mata proses
perjalanan Perpustakaan Umum Kota Surabaya saat memberi kemilau dalam
pemaknaannya. Tetapi layaknya peribahasa “Semakin tinggi pohon, maka akan
semakin kencang angin menerpanya” inilah yang kemudian kami rasakan. Puncaknya
pada saat kami membaca sebuah komentar di sosial media (facebook) yang dilontarkan oleh seorang guru. Kami memahami bahwa
lontaran komentar tersebut sejatinya adalah sebuah informasi pada kami sebagai
bahan evaluasi. Beliau menuliskan bahwa “Di
kota Surabaya ada SD rujukan yang akan dikuatkan dengan konten literasi.
Agaknya kondisi literasi di SD tsb memprihatinkan saat tim Kemendikbud kemarin visitasi”.
Akan tetapi yang mengusik benak kami adalah beliau berperan sebagai penerima
informasi agaknya berhati-hati untuk menyematkan kata “Memprihatinkan”. Batin kami
terusik, begitupun batin teman-teman seperjuangan kami yang kami menyebutnya
sebagai Pejuang Literasi ketika apa yang selama ini kami lakukan dan
perjuangkan begitu mudahnya mendapatkan komentar memprihatinkan hanya dari
sebuah informasi sepihak. Begitulah kiranya sebuah informasi tidak hanya
bertujuan memberikan berita kepada orang yang mulanya tidak tahu sehingga orang
tersebut mengerti atau memahaminya juga mampu digunakan sebagai alat
‘pencitraan’ sekaligus ‘menjatuhkan’.
Dengan
tidak mengurangi rasa hormat kami pada beliau melalui tulisan sederhana inilah kami
sebagai seorang Petugas Teknis Pengelola Perpustakaan yang merasa beruntung
karena menjadi saksi mata proses perjalanan Surabaya mencanangkan sebagai
Surabaya Kota Literasi mengajak beliau untuk menjelajahi kondisi SD tersebut melalui
tulisan karena seperti peribahasa “Tak kenal maka tak sayang”. SDN Bubutan IV
adalah sebuah sekolah dasar negeri yang memang terletak bisa dikatakan dipusat
kota, tetapi mayoritas latar belakang para siswa berasal dari kalangan menengah
ke bawah, masih terngiang-iang dibenak kami pada saat kali pertama kami
berkunjung “Ya, pantaslah anak-anaknya berprestasi, pasti yang sekolah di SDN
Bubutan IV semua orang tuanya berkecukupan dan peduli dengan pendidikan” sahut kami
“Mbak, SDN Bubutan IV mayoritas justru dari kalangan menengah ke bawah, mbak
tahu anak yang tadi? Itu rumahnya disebelah rel kereta api, orang tuanya
membuka kios kecil” jawab Ibu Budi selaku Kepala Sekolah kala itu “Lha masak
ibu? Tapi bisa punya banyak prestasi? Begitu tertib, santun, suka membaca, dan
membuang sampah pada tempatnya” kata kami masih meragukan “Semua itu karena pihak
sekolah ingin membuat sekolah ini layaknya rumah kedua bagi mereka, membuat
perpustakaan sebagai tempat yang menyenangkan, mendidik mereka, khusus yang
membuang sampah itu perlu dua tahun untuk membudayakan, tidak mudah karena di
rumah mereka tidak mendapatkan dari orang tua, sehingga mereka sangat merasa
nyaman di sekolah”. Kata ibu Budi menjelaskan kembali.
Begitupun
dengan proses literasi di SDN Bubutan IV tidaklah mudah, semua berproses,
melalui komitmen bersama dengan stake
holder terkait (Pemerintah Kota Surabaya antara lain Dinas Pendidikan,
Badan Arsip dan Perpustakaan Kota Surabaya, Seluruh Civitas Akademik SDN
Bubutan IV, Orang tua dan Wali Murid) kami berjalan bergandengan untuk
menyukseskan program Surabaya Kota Literasi. Berawal dengan merevitalisasi
fisik perpustakaan sesuai dengan standart nasional lalu meningkatkan kualitas
Sumber Daya Manusia (SDM) para siswa melalui kegiatan literasi dengan membuat
dan melaksanakan Kurikulum Wajib Baca, Membaca 15 menit di jam ke-0, Sudut Baca
untuk proses pembiasaan membaca.
Proses
Learning by Doing mengiringi langkah
kami dalam membangun Surabaya sebagai Kota Literasi untuk itu agar mencapai
hasil maksimal kami tetap belajar dengan para ‘guru’ yang paham akan literasi. Dengan
adanya SDN Bubutan IV kota Surabaya yang penuh keterbatasan kami ingin
menginformasikan bahwa keberhasilan sebuah program tidak hanya bermuara pada jumlah
dana program tetapi sinergi serta komitmen bersama. SDN Bubutan IV adalah
sebuah potret from zero to hero.
Kami
menggaungkan Perpustakaan sebagai Jantung Sekolah sekaligus tempat yang sangat
menyenangkan bagi anak-anak, pergi ke perpustakaan dan membaca tanpa ada unsur
paksaan sekalipun. Oleh karena itu semua petugas perpustakaan harus memiliki
unsur kerja 5 R (Rajin, Resik, Rapi, Rawat, Ringkas) dan 5 S (Salam, Senyum,
Sapa, Sopan dan Santun). Setelah proses pembiasaan berhasil kami mengarahkan
pada proses pembelajaran melalui Kelas Literasi Asik antara lain Membaca Cepat
yang dalam prosesnya ternyata yang kami lakukan oleh beberapa pakar pendidikan
lebih pas jika diistilahkan dengan
Teknik Membaca, Memahami isi bacaan, Meresume, Menceritakan kembali isi buku
yang telah dibaca dan Menulis buku.
Kegiatan
Kelas Literasi Asik ini kami kemas sangat menyenangkan tanpa sedikitpun ada
unsur paksaan, seperti yang telah diasumsikan oleh beberapa pihak dengan
menemukan anak menghafal berarti diasumsikan adanya kegiatan paksaan, asumsi
tersebut sungguhlah keliru. Karena kami meminta anak-anak untuk memahami isi
buku yang telah dibaca tanpa ada unsur paksaan, kami ingin anak-anak mencintai
literasi bukan justru menakutinya, tetapi jika pada akhirnya anak terlihat
menghafal tidaklah sepatutnya jika dikatakan adanya unsur paksaan. Bisa jadi
dalam proses memahami buku beberapa anak lebih menyenangkan dengan proses
menghafal. Seperti yang disampaikan oleh Rezki Yuniandari, Psi., “Kemas bentuk hafalan dengan aktivitas
bermain, sehingga informasi yang disimpan bertahan lama. Aktivitas menghafal
juga sarat manfaat. Tentu dengan cara yang benar dan tepat”. Dengan cara
yang benar dan tepat antara lain (1) Pastikan semua bentuk hafalan itu
menyenangkan buat anak (2) Usahakan hafalan dikonkretkan (3) Cari situasi yang
tepat (4) Lakukan secara bertahap, sedikit demi sedkit (5) Lakukan kegiatan
bermain secara bersama-sama (6) Pelajari gaya belajar anak (7) Hindari
Pemaksaan (8) Beri pujian saat anak mengusainya. Kami sangat menghormati proses dialektika
antara Akademisi, Pakar dan Praktisi mengenai literasi karena itu dalam
melaksanakan pembiasaan dan pembelajaran mengenai literasi kami belajar dari
berbagai sumber misalnya mempelajari Kelasnya Manusia, Memulai Kelas dengan Ice Breaking agar anak-anak merasa
senang, Display Kelas, Story Telling
atau mendongeng, mengundang para pakar untuk berbagi ilmu dll.
Surabaya
sebagai Kota Literasi adalah sebuah proses, sedang berbuat dan sebuah stimulus untuk daerah-daerah lain di
Indonesia. Oleh karena itu, semua bermuara bukan pada sebuah keraguan,
ketidakpercayaan dan penilaian siapa yang lebih memprihatinkan dan siapa yang
lebih hebat, tetapi bermuara pada tujuan bersama yaitu semua anak-anak
Indonesia mendapatkan keadilan informasi khususnya melalui program literasi.
Semoga.